Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Abdullah bin Umar, Pribadi yang Tangguh dan Selalu Dekat kepada Allah

abdullah bin umar

Saat Abdullah bin Umar telah berusia senja, ia berbicara,"Aku telah berbaiat kepada Rasulullah dan sampai saat ini, aku tidak pernah merusak atau mengingkari janji itu. Aku tidak pernah berbaiat kepada pengobar fitnah dan tidak pula membangunkan orang mukmin dari tidurnya."

Kalimat-kalimat tersebut merupakan rangkuman kehidupan seorang laki-laki saleh yang dikaruniai usia panjang hingga melebihi 80 tahun, dan telah memulai hubungannya dengan Rasulullah  dan Islam sejak berusia 13 tahun, yaitu ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan mendapatkan tempat dalam deretan para pejuang, seandainya tidak ditolak oleh Rasulullah karena usianya yang masih terlalu muda.

Sejak saat itu dan bahkan sebelumnya lagi, ketika ia menyertai ayahandanya dalam hijrahnya ke Madinah, hubungan anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rasulullah dan Islam telah mulai terjalin.

Sejak hari itusampai saat ia menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia 85 tahun, kita akan mengetahui bahwa ia adalah seorang yang tekun dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Ia tidak pernah bergeser dari pendiriannya, walau seujung rambut, dan tidak pernah menyimpang dari baiat yang telah diikrarkannya atau melanggar janji yang telah diucapkannya.

Banyak sekali keistimewaan yang bisa diambil dari Abdullah bin Umar.Ilmu,kerendahan hati, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, kedermawanan, kesalehan dan ketekunannya dalam beribadah serta ketangguhannya dalam berpegang kepada teladan yang diberikan oleh Rasulullah 摇;semua sifat dan keutamaan ini turut berperan dalam menempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar.

Abdullah belajar banyak hal tentang kebaikan dari ayahanda, Umar bin Al-Khatthab. Bersama ayahnya ia belajar dari Rasulullah tentang semua macam kebaikan dan keagungan. Seperti ayahnya, ia telah berhasil mencapai keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah merupakan suatu hal yang sangat menakjubkan.

Abdullah selalu memperhatikan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah lalu menirunya secara cermat dan teliti. Contohnya, Rasulullah  pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar pun melakukan hal yang sama di tempat itu.

Di tempat lain, Rasulullah  pernah berdoa sambil berdiri, maka Ibnu Umar pun berdoa di tempat itu sambil berdiri. Ketika di tempat lain Rasulullah  berdoa sambil duduk, Ibnu Umar pun berdoa di sana sambil duduk. Saat di suatu lokasi Rasulullah turun dari punggung untanya dan melakukan shalat dua rakaat, Ibnu Umar pun tidak mau ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia lewat di daerah itu dan tempat itu.

Bahkan, ia tidak lupa ketika unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu tempat di Mekkah sebelum beliau turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua rakaat, meski barang kali unta itu berputar karena mencari tempat yang cocok baginya untuk menderum.Nah, ketika Abdullah bin Umar sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian menderumkan untanya, dan setelah itu ia shalat dua rakaat, sehingga persis dengan perbuatan Rasulullah yang telah disaksikannya.

Kesetiaannya yang sangat tulus dalam mengikuti jejak Rasulullah * ini telah mengundang pujian dari Ummul Mukminin Aisyah , sehingga ia mengatakan, “Tidak seorang pun yang mengikuti jejak langkah Rasulullah  di tempat-tempat persinggahan beliau sebagaimana yang dilakukanoleh Ibnu Umar.”

Abdullah telah memanfaatkan usianya yang panjang dan penuh berkah itu untuk membuktikan kecintaannya yang mendalam terhadap Rasulullah, hingga suatu masa kaum muslimin yang saleh berdoa, "Ya Allah, biarkanlah Ibnu Umar tetap hidup selama Engkau memberikan hidup bagiku,agar aku dapat mengikuti jejaknya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang menghirup dari sumber pertama selain dia.”

Karena kegemarannya yang kuat tidak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan jejak langkah Rasulullah, Ibnu Umar bersikap sangat hati-hati dalam penyampaian hadits dari Rasulullah. Dia tidak akan menyampaikan suatu hadits darinya, kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah.

Orang-orang yang semasa dengannya mengatakan,"Tak seorang pun di antara sahabat Rasulullah  yang lebih berhati-hati agar tidak tercecer atau terkurangi sehuruf pun dalam menyampaikan hadits Rasulullah sebagaimana Ibnu Umar.” Pun demikian dalam berfatwa, ia sangat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri.

Suatu hari,seseorangdatangkepadanya untuk meminta fatwa. Setelah orang itu memajukan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab “Saya tidak tahu tentang masalah yang Anda tanyakan itu.” Orang itu pun pergi dan baru beberapa langkah ia meninggalkannya,Ibnu Umar menggosok-gosokkan telapak tangannya sebagai ungkapan suka cita dan berkata dalam hatinya, “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya maka ia menjawab tidak tahu.”

Dia tidak ingin berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut berbuat kesalahan. Walaupun pola hidupnya mengikuti ajaran agama besar, yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang berijtihad salah dan dua pahala bagi yang berijtihad benar, sikap kehati-hatiannya telah menyebabkannya tidak berani berfatwa.

Dia juga menghindarkan diri dari jabatan hakim, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, di samping menjamin pemasukan keuangan, pengaruh, dan kedudukan mulia. Namun, apa perlunya kekayaan, pengaruh, dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar?

SuatuhariKhalifahUtsmanmemanggilnya dan memintakesediaannya memegang jabatan hakim tersebut, tetapi ia menolaknya. Utsman tetap mendesaknya, tetapi Ibnu Umar juga tetap mempertahankan penolakannya itu.

"Apakah engkau tidakmenaati perintahku?" tanya Utsman.

Ibnu Umar menjawab, “Sama sekali tidak, hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam: Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua, hakim yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Ketiga, hakim yang berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula mendapat pahala. Atas nama Allah, saya memohon kepadamu agar dibebaskan dari jabatan itu."

Khalifah Utsman menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menyampaikan hal itu kepada siapa pun. Sebab, Utsman menyadari bagaimana kedudukan Ibnu Umar di hati masyarakat. Bila orang-orang yang bertakwa lagi saleh mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima jabatan tersebut, mereka pasti akan mengikuti langkahnya, sehingga Utsman tidak akan menemukan seorang bertakwa yang bersedia menjadi hakim.

Pendirian Abdullah bin Umar ini mungkin terlihat sebagai sikap yang kurang positif. Tetapi, sebenarnya tidak demikian. Ibnu Umar tidak akan menolak jabatan tersebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas menduduki jabatan itu, karena masih banyak orang saleh dan wara' di antara sahabat Rasulullah, yang sebelumnya memang sudah memiliki pengalaman kerja cukup lama di bidang kehakiman dan fatwa.

Penolakan Ibnu Umar ini tentu saja tidak akan menyebabkan lowongnya kursi jabatan tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang. Telah tertanam dalam kepribadian Ibnu Umar untuk selalu membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan peribadatannya kepada Allah.

Di sisi lain, kehidupan Islam pada waktu itu bisa juga menjadi faktor penolakan itu. Pada masa itu, keduniaan telah terbuka lebar bagi kaum muslimin. Harta kekayaan melimpah ruah, pangkat dan jabatan terbuka luas. Godaan harta dan kedudukan itu telah memikat dan membius hati sebagian orang beriman, sehingga sebagian sahabat Rasulullah di antaranya Ibnu Umar-bangkit mengibarkan bendera perlawanan terhadap godaan itu. Wujudnya ialah dengan menjadikan diri mereka sebagai teladan dalam kezuhudan dan kesalehan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya.

Bisa dikatakan bahwa fbnu Umar adalah "sahabat malam” yang selalu mengisinya dengan melakukan shalat, dan “sekutu waktu sahur" yang senantiasa memanfaatkan waktu itu untuk menangis dan memohon ampunan. Kala remaja, ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah ditakwilkan bahwa qiyamul lail nantinya akan menjadi tumpuan cita-cita Ibnu Umar, tempat bersemayam kesenangan dan kebahagiaannya. Sekarang, marilah kita dengar cerita tentang mimpinya itu:

“Pada masa Rasulullah,aku pernah bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang aku ingini di surga maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana. Aku melihat dua orang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi, seorang malaikat menghadang mereka, dan berkata, 'Jangan ganggu!' Kedua orang itu pun membiarkan jalan bagiku. Hafshah, saudariku, menceritakan mimpi itu kepada Rasulullah  Beliau pun bersabda, 'Abdullah akan menjadi lelaki utama bila ia rajin shalat malam dan banyak melakukannya!”

Sejak itu sampai pulang ke rahmatullah, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik sedang mukim maupun musafir. Ia selalu giat menunaikan shalat, membaca Al-Qur'an, dan banyak berzikir menyebut nama Allah.

Satu hal yang sangat menyerupai ayahnya ialah air matanya bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari Al-Qur'an. Ubaid bin Umair menuturkan, “Suatu hari saya membacakan ayat berikut ini kepada Abdullah bin Umar:

Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka. Pada hari itu, orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka diratakan dengan tanah dan mereka tidak dapat menyembunyikan suatu kejadian pun dari Allah. (An-Nisa: 41-42).

Seketika Ibnu Umar menangis, hingga janggutnya basah oleh air mata.

Suatu hari ketika ia duduk di antara sahabat-sahabatnya, ia membaca:

Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar,(yaitu) pada hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb seluruh alam?(Al-Muthaffifin:1-6)

Dia terus mengulang-ulang kalimat:

"(yaitu) pada hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb seluruh alam," sedangkan air matanya mengucur bagai hujan. Puncaknya, ia jatuh pingsan disebabkan oleh perasaan sedih dan tangis.

Sikap dermawan, zuhud, dan wara' berkolaborasi pada dirinya dalam suatu paduan seni yang agung membentuk corak kepribadian mengagumkan dari manusia besar ini. Dia banyak memberi karena ia seorang dermawan. Abdullah hanya memberikan barang yang halal karena ia seorang yang wara' atau saleh. Ia tidak peduli, andaikata kemurahannya itu akan menyebabkan dirinya miskin, sebab dirinya seorang berhati zuhud.

Ibnu Umar termasuk orang yang hidup makmur dan berpenghasilan besar. Ia adalah seorang pedagang yang jujur dan berhasil dalam kehidupannya. Selain itu, gajinya dari Baitul Mal tidak sedikit. Hanya saja, tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk kepentingan pribadi, tetapi dibagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada para fakir, miskin, dan pengemis.

Ayyub bin Wail Ar-Rasibi pernah menceritakan kepada kita salah satu contoh kedermawanannya. Suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin.Pada hari berikutnya Ibnu Wail melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya, namun tidak dibayar secara kontan.

Didorong oleh rasa penasaran, Ibnu Wail menjumpai keluarganya, lalu bertanya, “Bukankah kemarin Abu Abdirrahman-maksudnya Ibnu Umar-menerima kiriman 4 ribu dirham dan sehelai baju dingin?"

“Benar”,jawab mereka.

Ibnu Wail berkata,“Saya lihat, ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya, dan ia tidak punya uang untuk membayarnya."

Mereka menjawab, “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Setelah itu ia mengambil baju dingin itu dan menyampirkan di pundaknya, lalu pergi dan ketika kembali, baju itu tidak kelihatan lagi. Ketika kami menanyakannya, ia menjawab bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin."

Mendengarjawabanitu,Ibnu Waillangsungpergisambil menepukkan telapak tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar.

Di sana ia naik ke suatu tempat yang tinggi dan berteriak kepada para pedagang di pasar, “Wahai kaum pedagang! Apa yang kalian lakukan terhadap dunia? Lihatlah Ibnu Umar, yang mendapatkan kiriman sebanyak 4 ribu dirham lalu membagi-bagikannya, sehingga esok pagi ia membelikan makanan untuk hewan tunggangannya secara utang!”

Begitulah bila orang yang gurunya Muhammad dan ayahnya Umar; luar biasa dan mampu melakukan hal-hal istimewa. Kedermawanan, kezuhudan, dan kewara'an merupakan tiga unsur yang menyatu pada Abdullah bin Umar, yang membuktikan secara nyata bahwa ia adalah seorang pengikut terpercaya dan seorang putra teladan.

Bagi orang yang ingin melihat kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah ,cukuplah sebagai bukti bahwa Ibnu Umar menghentikan tunggangannya persis di tempat Rasulullah menghentikan unta beliau, dan ia berkata, “Semoga setiap jejak akan berpijak di atas jejak sebelumnya."

Begitu pula dalam persoalan bakti, hormat, dan kagum kepada orang tua, Ibnu Umar mencapai suatu taraf yang mengharuskan agar kepribadian Umar itu diteladani oleh pihak musuh, apalagi oleh kaum kerabat, dan putra-putra kandungnya sendiri.

Bila dipikir, memang tidak masuk akal bila orang yang mengaku sebagai pengikut Rasul ini dan ayah seperti Umar akan menjadi budak harta. Karena itulah, meski harta itu datang kepadanya secara berlimpah ruah, itu semua hanya sekedar lewat, atau mampir ke rumahnya sebentar  

jamuan untuk orang-orang yang banyak harta dan tidak mengundang fakir miskin. Ia memberikan teguran, “Kalian mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, sementara orang-orang yang kelaparan kalian biarkan!"

Kaum fakir miskin sangat mengenal siapa Ibnu Umar, mengetahui sifat santunnya, dan merasakan akibat kedermawanan dan budi baiknya. Mereka sering duduk di jalan yang akan dilalui Ibnu Umar saat pulang, dengan harapan terlihat olehnya lalu diajak ke rumahnya. Mereka berkumpul di sekelilingnya tidak ubah bagai kawanan lebah yang berhimpun mengerumuni bunga untuk menghisap sari madunya.

Bagi Ibnu Umar harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan atau majikan. Harta hanyalah alat untuk mencukupi keperluan hidup dan bukan untuk bermewah-mewahan. Hartanya bukanlah miliknya semata, melainkan ada hak fakir miskin yang telah ditentukan di dalamnya. Jadi, setiap hamba punya hak yang sama dan tidak ada hak istimewa karena kedudukan seseorang.

Kedermawanan yang tidak terbatas ini disokong oleh sifat zuhudnya. Ibnu Umar tidak hendak membanting tulang dalam mencari dan mengusahakan dunia. Harapan dari dunia itu hanyalah hendak mendapatkan pakaian sekedar penutup tubuhnya dan makanan sekedar penunjang hidup.

Salah seorang sahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju yang halus dan indah kepadanya, dan berkata, “Saya bawa baju ini dari Khurasan untukmu.Alangkah senangnya hatiku bila aku dapat melihatmu menanggalkan pakaianmu yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baju baru yang indah ini!"

“Biarkanlah kulihat dulu,” jawab Ibnu Umar.

"Apakah ini sutera?" tanya Ibnu Umar sembari meraba baju itu.

“Bukan, itu hanya katun,” ujar sahabatnya tersebut.

Ibnu Umar mengusap-usap baju itu sebentar, kemudian menyerahkannya kembali kepada orang tersebut dan berkata, "Tidak, aku khawatir terhadap diriku. Aku takut ia akan menjadikan diriku sombong dan tampak mewah, sedangkan Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri.”

Pada kesempatan lain, seorang sahabat memberinya sebuah kotak yang penuh dengan sesuatu.

“Apa ini isinya?" tanya Ibnu Umar.

“Obat istimewa, aku bawa untukmu dari Iraq!" jawab sahabatnya.

"Obat untuk penyakit apa."

“Obat penghancur makanan untuk membantu pencernaan."Ibnu Umar tersenyum, dan berkata kepada sahabat itu, “Obat penghancur makanan? Selama 40 tahun ini aku tidak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang.”

Seseorang yang tidak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun tentu maksudnya bukan hendak menjauhi rasa kenyang itu semata, melainkan karena dorongan sifat zuhud dan wara'nya, di samping bagian dari upayanya untuk mengikuti jejak langkah Rasulullah dan ayahandanya. Ia sangat khawatir bila kelak akan dihadapkan pada hari kiamat dengan pertanyaan, “Telah engkau habiskan segala kenikmatanmu waktu kamu hidup di dunia, yang kamu bersenang-senang dengannya!"

Ia menyadari bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu atau seorang musafir yang akan segera berlalu. Ia pernah bercerita tentang dirinya, “Aku tidak pernah membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma sejak wafatnya Rasulullah.”

Maimun bin Mahran berkata, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar, dan apa saja yang terdapat di sana, maka saya mendapati harganya tidak sampai 100 dirham."

Hal ini terjadi bukanlah karena Ibnu Umar miskin, sebab sejatinya ia orang kaya, dan juga bukan karena pelit terhadap diri sendiri, karena sebenarnya ia adalah seorang yang pemurah dan dermawan! Yang demikian karena ia seorang zuhud yang tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah, dan tidak senang menyimpang dari kebenaran serta kesalehan dalam menempuh hidup ini.

Ibnu Umar dikaruniai umur panjang dan masih hidup pada masa Bani Umayah, di mana harta melimpah ruah, tanah tersebar luas,dan kemewahan terbentang di kebanyakan ruma kaum muslimin, apalagi di istana. Meski demikian, “gunung yang mulia ini” (Ibnu Umar) tetap tegak dan tidak tergoyahkan, tidak hendak beranjak dari tempatnya, dan tidak hendak bergeser dari sifat wara' dan zuhudnya.

Jika seseorang menyebut persoalan kebahagiaan dan kesenangan dunia yang dihindarinya itu, ia berkata, “Aku dan para sahabatku telah sepakat atas suatu perkara, dan aku khawatir jika menyalahi mereka, dan tak'kan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya."

Kemudian, ia menuturkan kepada orang-orang bahwa ia meninggalkan dunia itu bukanlah disebabkan oleh ketidakmampuan. Kemudian ia menadahkan kedua tangannya ke langit, sembari berkata, "Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu, tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan dunia ini."

Memang benar, seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan ikut merebut dunia dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi, ia tidak perlu berebut karena dunia datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya tariknya.

Apakah ada yang lebih menarik daripada jabatan khalifah? Jabatan ini berkali-kali ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan, ia pernah diancam jika tidak mau menerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin keras.

Al-Hasan menuturkan, "Tatkala Utsman bin Affan terbunuh, kaum muslimin berkata kepada Abdullah bin Umar, 'Engkau adalah seorang pemimpin. Keluarlah, agar kami meminta orang-orang berbaiat kepadamu!'

Ibnu Umar menjawab, 'Demi Allah, bila mungkin, janganlah ada walau setetes darah pun yang tertumpah disebabkan diriku!'

Mereka berkata lagi, 'Engkau harus keluar! Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu!'

Namun, jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah, mereka membujuk dan mengancamnya, tetapi mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa.”

Setelah waktu berjalan sekian tahun dan fitnah semakin menjadi-jadi, Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar sedia menerima jabatan khalifah dan mereka akan berbaiat kepadanya, tetapi ia selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya masalah yang ditujukan kepada Ibnu Umar. Tetapi, ia mempunyai alasan yang logis.

Telah dimaklumi bahwa setelah Utsman terbunuh, keadaan bertambah buruk dan berlarut-larut, sehingga bencana dan malapetaka pun tidak terelakkan. Walaupun ia tidak mempunyai ambisi untuk menempati jabatan khalifah tersebut, ia sejatinya bersedia memikul tanggung jawab dan menanggung risikonya, dengan syarat ia dipilih oleh seluruh kaum muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika baiat itu dipaksakan oleh sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, inilah yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar, dan ia menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara seperti itu.

Ketika itu syarat tersebut tidak mungkin terwujud. Meski sebesar apa pun kebaikan Ibnu Umar dan kekompakan kaum muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, luasnya daerah dan letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang berkecamuk di antara kaum muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah menjadibeberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata. Suasana waktu itu tidak memungkinkan tercapainya konsensus atau kesepakatan yang diharapkan oleh Ibnu Umar.

Suatu hari, seseorang mendatanginya dan berkata, "Tidak ada seorang pun yang lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia selain dirimu!”

"Mengapa?" tanya Ibnu Umar, “Demi Allah, saya tidak pernah menumpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah-belah kesatuan mereka!"

Orang itu berkata lagi, "Seandainya engkau bersedia (menjadi khalifh), tidak akan ada seorang pun yang menentang."

Jawab Ibnu Umar, “Saya tidak ingin jabatan itu menjadi milikku, sementara masih ada seseorang yang mengatakan setuju,sedangkan orang lain mengatakan tidak."

Ketika peristiwa telah berkembang sedemikian rupa dan kedudukan Mu'awiyah telah kokoh, lalu beralih kepada putranya, Yazid, Ibnu Umar tetap menjadi tumpuan harapan manusia untuk menempati jabatan khalifah.Bahkan,ketika Mu'awiyah II putra Yazid menduduki jabatan khalifah lalu hanya selang beberapa hari ia meninggalkannya karena tidak menyukainya, harapan terhadap Ibnu Umar tersebut tidak pernah surut. Padahal, pada saat itu Ibnu Umar telah menjadi seorang berusia lanjut.

Marwan datang kepadanya, dan berkata, “Ulurkanlah tangan Anda agar kami berbaiat! Anda adalah pemimpin Islam dan putra pemimpin Islam!"

Ibnu Umar menjawab, “Apa yang akan kita lakukan terhadap orang-orang dari wilayah Timur (masyriq)?”

“Kita gempur mereka sampai mau berbaiat!" jawab Marwan.

“Demi Allah, saya tidak sudi dalam umur saya yang sudah 70 tahun ini ada seorang manusia yang terbunuh karena saya.”

Marwan akhirnya pergi sambil menyenandungkan syair:

Aku melihat api fitnah berkobar hingga puncaknya 

Sepeninggal Abu Laila', kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa

Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar tidak ingin ikut campur dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali dan pendukung Mu'awiyah. Dia mengambil kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:

Siapa yang berkata, 'Marilah shalat!' akan aku penuhi

Yang dimaksud dengan Abu Laila ialah Mu'awiyah bin Yazid.

Dan siapa yang berkata, 'Marilah menuju kebahagiaan!',akan aku turuti pula.

Tetapi siapa yang mengatakan, 'Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!'

Maka aku akan katakan tidak.

Meski Ibnu Umar yang sudah mengambil sikap menjauh dari urusan kekhalifahan itu dan menunjukkan ketidakberpihakan, ancaman kebatilan tetap saja tidak luput darinya. Telah lama sekali Mu'awiyah yang ketika itu berada di puncak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan membingungkannya, bahkan Mu'awiyah mengancam akan membunuhnya. Padahal, Ibnu Umar selalu bersemboyan, “Seandainya antara diriku dan seseorang ada hubungan, walau hanya sebesar rambut, itu tidak akan putus."

Suatu hari, Al-Hajjaj tampil berpidato,“Ibnu Zubair telah menyimpangkan Kitabullah!"

Ibnu Umar berteriak menentangnya, “Bohong,kamu dusta!”

Al-Hajjaj yang selama ini ditakuti oleh siapa pun juga merasa terpukul mendapat serangan tiba-tiba. Tetapi, kemudian dia melanjutkan pembicaraan dengan mengancamnya akan memberi balasan yang seburuk-buruknya.

Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke muka Al-Hajjaj, dan di hadapan orang-orang yang semuanya merasa takjub, ia menjawab,"Jika ancamanmu itu kamu laksanakan, sungguh itu tidak aneh karena engkau adalah seorang diktator yang biadab!" Tetapi, meski sekeras dan sebesar apa pun keberanian Ibnu Umar, sampai akhir hayat ia selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan.

Abul 'Aliyah Al-Bara' berkata, “Suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahui olehnya. Saya dengar ia berbicara kepada dirinya, 'Mereka meletakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-

pundak orang lain, mereka saling membunuh lalu berkata,'Wahai Abdullah bin Umar, ulurkanlah bantuanmu.'

Dia sangat menyesal dan berduka melihat darah kaum muslimin tertumpah oleh sesamanya. Seandainya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah agar tidak tertumpah, ia pasti melakukannya. Tetapi, peristiwa yang terjadi di luar kemampuannya, sehingga ia lebih memilih untuk menjauhinya.

Hati kecilnya sejatinya berpihak kepada Ali, bahkan tampak bahwa Ibnu Umar yakin Ali berada di pihak yang benar. Terbukti, pada akhir hayatnya, diriwayatkan bahwa ia berkata, 'Tiada sesuatu pun yang aku sesali karena tidak kuperoleh di dunia ini, kecuali satu hal; aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali saat memerangi golongan yang melampaui batas!'."

Penolakannya berperang di pihak Ali, yang sebenarnya mempertahankan kebenaran dan berada di pihak yang benar, dilakukannya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri, melainkan karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah itu, serta menghindari peperangan yang terjadi bukan antara Muslim dan musyrik, melainkan antara sesama Muslim, yang saling menerkam saudaranya.

Hal itu dijelaskannya dengan gamblang ketika Nafi' bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdirrahman, Anda adalah putra Umar dan sahabat Rasulullah  Anda lebih tahu dalam hal ini, tetapi apa yang menghalangi Anda untuk bertindak-maksudnya membela Ali?”

Ibnu Umar menjawabnya dengan ungkapan, “Alasannya,karena Allah Ta'ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim! Allah berfirman:

Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. (Al-Baqarah: 193).

Kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama hanya untuk Allah semata. Tetapi, sekarang, apa tujuan kita berperang?

Aku telah mulai berperang sejak berhala-berhala masih memenuhi Al-Masjid Al-Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari Tanah Arab. Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan La Ilaha illallah?”

Itulah logika, argumen, dan keyakinan Ibnu Umar. Jadi,ia menghindari peperangan dan tidak ingin terlibat dalam hal itu, bukanlah karena takut atau hal-hal negatif lainnya, melainkan karena tidak menyetujui perang saudara antara sesama orang beriman, dan menentang tindakan seorang Muslim yang menghunus pedang terhadap Muslim lainnya.

Ibnu Umar dikaruniai usia lanjut dan mengalami saat-saat pintu keduniaan terbuka lebar bagi kaum muslimin. Harta melimpah ruah, jabatan beraneka ragam, dan angan-angan manusia melambung tinggi. Namun,kekuatan psikologisnya yang luar biasa mampu mengubah racun pada zamannya.

Kondisi zaman itu memang penuh dengan segala macam keinginan, fitnah dan harta benda, bagi dirinya justu diubah menjadi zaman yang diliputi oleh kezuhudan dan kesalehan. Dia menjalani masa itu sebagai orang yang tekun beribadah dan selalu dekat dengan Sang Pencipta, dengan penuh keyakinan. Kehidupannya diisi sepenuhnya dengan kegiatan tersebut. Karakternya yang agung, yang telah dibentuk oleh Islam pada masa-masa pertamanya yang gemilang dan tinggi menjulang, tidak pernah tergoyahkan sedikit pun.

Corak kehidupan mengalami perubahan bersamaan dengan awal masa kekuasaan Bani Umayah, tidak ada seorang pun yang dapat lari dari perubahan tersebut. Masa itu bisa dikatakan sebagai masa kelonggaran dalam segala hal; kelonggaran yang bukan hanya bisa menuruti semua keinginan pemerintah, melainkan juga keinginan-keinginan pribadi dan golongan. Di tengah-tengah badai godaan dunia dan pasukan masa yang penuh dengan keluasan, kekayaan, dan kemegahannya, Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya, tidak menghiraukan semua itu, dan tetap melanjutkan pengembangan jiwanya yang besar.

Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya seperti yang diharapkannya, hingga orang-orang yang hidup semasa dengannyamelukiskannyadenganungkapan, “IbnuUmartelah meninggal dunia, dan dalam hal keutamaan ia tidak ubahnya seperti Umar.” Bahkan, ketika menyaksikan sifat dan akhlaknya yang mengagumkan itu, mereka membandingkannya dengan Umar, yaitu ayahnya yang berpribadi besar. Mereka berkata, “Umar hidup pada masa yang waktu itu banyak tokoh yang menjadi saingannya, sedangkan Ibnu Umar hidup pada masa yang waktu itu tidak ditemui siapa yang menandinginya."

Perbandingan itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dimaafkan terhadap orang seperti Ibnu Umar. Adapun Umar, tidak seorang pun dapat disejajarkan dengannya, tidak mungkin ada bandingannya di setiap masa dari kaum manapun juga.

Pada tahun 73 H, ketika sang surya telah condong ke barat hendak memasuki peraduannya, sebuah kapal keabadian telah mengangkat sauh dan mulai berlayar ke alam lain dan Ar-Rafiq Al-A'la, membawa sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di Mekkah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab. Adapun tokoh dari kalangan sahabat yang terakhir wafat adalah Anas bin Malik yang meninggal .

insyouf.com
insyouf.com Religi dan Motivasi + Wawasan

Posting Komentar untuk "Abdullah bin Umar, Pribadi yang Tangguh dan Selalu Dekat kepada Allah"