Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Usaid bin Al-Hudhair, Pahlawan dalam Peristiwa Saqifah

usaid bin al hudhair

Ia mewarisi akhlak mulia dari moyangnya secara turun-temurun. Ayahnya Hudhair Al-Kata'ib adalah seorang pembesar Aus, tokoh bangsawan Arab pada zaman jahiliah, dan ksatria perang mereka yang perkasa. Seorang penyair pernah membuat syair tentang ayahnya ini:

Seandainya maut mau menghindar dari orang perkasa

niscaya ia membiarkan Hudhair ketika menutupkan pintunya

Ia hanya akan berkeliling, sampai malam datang menjelma

Lalu mengambil tempat duduk dan berdendang dengan asyiknya.

Usaid mewarisi kedudukan, keberanian, dan kehormatan dari ayahnya. Sebelum masuk Islam, ia merupakan salah seorang pemimpin Madinah, bangsawan Arab, dan pemanah pilihan yang jarang ada bandingannya. Ketika Islam telah memilih dirinya dan membimbingnya ke jalan yang mulia lagi terpuji, kemuliaannya bertambah memuncak dan kedudukannya bertambah tinggi. Itu terjadi ketika ia mengambil kedudukan menjadi salah seorang pelopor pembela Allah dan Rasul-Nya, serta termasuk dalam bagian orang-orang yang memeluk Islam lebih dahulu. Pada saat masuk Islam itu, ia sangat cepat menerima, bersemangat tinggi, dan menunjukkan kemuliaan.

Rasulullah mengirim Mush'ab bin Umair ke Madinah untuk mengajari orang-orang Muslim dari kalangan Anshar yang telah berbaiat kepadaNabiuntukmembelaIslampada BaitAqabahI,danuntukmengajak orang lain kepada agama Allah. Pada waktu itu Usaid bin Al-Hudhair dan Sa'ad bin Mu'adz-yang tidaklain merupakan pemimpin kabilah masing-masing-duduk merundingkan perantau asing yang datang dari Mekkah, yang akan menyingkirkan agama mereka dan menyeru kepada agama baru yang belum mereka kenal. Sa'ad berkata kepada Usaid, “Pergilah menemui orang itu (Mush'ab) dan berilah pelajaran agar kapok." Usaid pun pergi dengan menenteng tombaknya untuk menemui Mush'ab bin Umair yang waktu itu menginap di rumah As'ad bin Zurarah, salah satu pembesar Madinah yang masuk Islam lebih dahulu.

Di majelis Mush'ab dan As'ad bin Zurarah, Usaid melihat banyak orang yang dengan penuh minat dan perhatian mendengarkan kalimat-kalimatpetunjukyang disampaikan olehMush'ab bin Umar dan mengajak mereka kepada Allah.Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh Usaid yang datang dengan kemarahan dan keberangannya. Mush'ab berkata kepadanya, “Apakah engkau berkenan duduk mendengarkannya lebih dahulu? Bila engkau senang dengan urusan kami, engkau dapat menerimanya, sedangkan bila engkau tidak menyukainya, kami akan menghentikan apa yang tidak engkau sukai itu."

Usaid adalahseorangyang cemerlangotaknya dan tajam mata hatinya, sehingga penduduk Madinah menyebutnya dengan julukan Al-Kamil (Si Sempurna). Julukan ini juga merupakan julukan yang dimiliki ayahnya dulu. Ketika ia melihat Mush'ab mengajaknya untuk mempertaruhkan logika dan akal, ia merasa tertantang, lalu menancapkan tombaknya ke tanah dan berkata kepada Mush'ab, “Engkau benar, sekarang. ungkapkanlah apa yang ada padamu.”

Mush'ab lalu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an kepadanya dan menjelaskan seruan agama baru ini. Agama yang benar dan Nabi Muhammad  diperintahkan untuk menyampaikan dan mengibarkan benderanya.Orang-orang yang menghadiri majelis tersebut mengatakan, “Demi Allah, kami telah melihat Islam di wajah Usaid sebelum ia mengucapkannya. Kami mengetahuinya dari cahaya dan sikap lunaknya."

Belum lagi Mush'ab menyelesaikan penjelasannya, Usaid sudah berseru dengan ungkapan yang mengesankan, “Alangkah baiknya kata-kata ini dan alangkah indahnya. Apa yang kalian lakukan bila kalian hendak masuk agama ini?”

Mush'ab menjawab, “Bersihkanlah badan dan pakaianmu, lalu ucapkanlah syahadat yang benar, kemudian tunaikanlah shalat.”

Sesungguhnya kepribadian Usaid benar-benar kepribadian yang lurus, kuat, dan murni. Saat mengenal jalannya, ia tidak ragu-ragu langsung melangkah dan menyambutnya dengan kebulatan hati. Usaid tegak berdiri untuk menerima agama yang telah membuka pintu hatinya dan menyinari dasar jiwanya. Ia bergegas mandi dan membersihkan diri, kemudian sujud kepada Allah Pemelihara semesta alam, menyatakan keislamannya dan menyampaikan perpisahan kepada masa-masa kemusyrikan dan jahiliah.

Kewajiban Usaid sekarang ialah segera kembali menemui Sa'ad bin Mu'adz untuk menyampaikan laporan atas tugas yang dibebankan kepadanya sebelum itu, yaitu mengancam dan mengusir Mush'ab bin Umair. Dia segera kembali kepada Sa'ad.

Ketika Usaid hampir tiba di tempat yang dituju, Sa'ad mengatakan kepada orang-orang sekelilingnya, “Aku bersumpah, sungguh Usaid telah datang sekarang ini, tetapi dengan wajah yang lain daripada ketika ia pergi tadi." Benar, ia pergi dengan muka yang masam berkerut dengan membawa kemarahan dan permusuhan, sedangkan kini ia kembali dengan wajah yang diliputi perasaan tenang, rahmat, dan cahaya.

Usaid memutuskan akan mempergunakan sedikit kecerdikannya. la tahu benarbahwa Sa'ad bin Mu'adz sama dengan dirinya dalam persoalan kebersihan jiwa, kekerasan kemauan, ketenangan berpikir, dan ketepatan penilaian. Ia mengetahui bahwa tidak akan ada penghalang antara dirinya dan Islam setelah mendengar sendiri apa yang telah didengarnya tadi tentang firman Allah, yang dibacakan dan diuraikan dengan baik kepada mereka oleh utusan Rasulullah, Mush'ab bin Umair.

Tetapi,seandainya ia berkata kepada Sa'ad, “Sebenarnya aku telah masuk Islam, karena itu berdirilah dan masuk Islam,”niscaya akan mengundang pertentangan yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Karena itu, ia memutuskan untuk membangkitkan semangat keberanian Sa'ad sebagai suatu cara untuk mendorongnya pergi ke majelis Mush'ab sampai ia mendengar dan menyaksikannya sendiri. Namun,bagaimana caranya?

Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Mush'ab menjadi tamu di rumah As'ad bin Zurarah. As'ad bin Zurarah ini merupakan anak bibi Sa'ad bin Mu'adz. Karena itulah, Usaid berkata kepada Sa'ad, "Aku mendengar berita bahwa Bani Haritsah telah berangkat ke rumah As'ad bin Zurarah untuk membunuhnya, padahal mereka tahu bahwa ia adalah anak bibimu."

Didorong oleh fanatisme dan kemarahan, Sa'ad bangkit dan mengambil tombaknya lalu bergegas pergi ke tempat As'ad dan Mush'ab yang ketika itu sedang berkumpul bersama kaum muslimin lainnya. Ketika ia sampai ke dekat majelis, ia bukan menemukan keributan ataupun kegaduhan, melainkan ketenangan yang meliputi seluruh jamaah, sedangkan di tengah-tengah mereka berada Mush'ab bin Umair membacakan ayat-ayat Allah dengan penuh kekhusyukan dan yang lain menyimak dengan penuh perhatian.

Saat itulah Sa'ad menyadari siasat yang telah diatur Usaid untuk menjebaknya, yang tidak lain ialah agar ia datang ke majelis itu dan dapat mendengarkan sendiri pembicaraan Mush'ab bin Umair sebagai utusan Islam. Firasat Usaid mengenai sahabatnya memang tidak meleset. tidak lama setelah Sa'ad mendengarkannya, Allah membuka dadanya untuk menerima Islam, dan secepat kilat ia pun mengambil kedudukannya di barisan orang-orang beriman yang lebih awal.

Hati serta akal Usaid memancarkan keimanan, keyakinan yang kuat, dan cahaya. Keimanan memberinya bekal sifat hati-hati, penyantun dan penilaian yang tepat, yang menjadikannya selalu dipercaya.

Dalam peperangan Bani Musthaliq, meledaklah dendam yang terpendam di dada Abdullah bin Ubai. Ia berkata kepada orang-orang sekitarnya dari kalangan penduduk Madinah, “Kalian telah menempatkan mereka di negeri kalian dan berbagi harta dengan mereka. Demi Allah, seandainya kalian tidak memberikan apa yang ada di tangan kalian kepada mereka, niscaya mereka akan berpindah ke lain negeri, bukan negeri kalian ini. Demi Allah, saat kita kembali ke Madinah nanti, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari sana.”

Seorang sahabat yang mulia, Zaid bin Al-Arqam, mendengar kalimat-kalimat, bahkan racun kemunafikan yang membakar ini. Wajib baginya memberitahukan itu kepada Rasulullah. Perasaan Rasul sangat tertusuk. Usaid pada waktu itu menjemput beliau maka beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah mendengar apa yang diucapkan oleh sahabatmu?

“Sahabat yang mana, wahai Rasulullah?"

“Abdullah bin Ubai."

“Apa yang ia ucapkan?”

“Ia mengklaim bahwa bila ia kembali ke Madinah, orang yang mulia akan mengeluarkan orang yang hina darinya."

"Demi Allah, engkaulah yang akan mengeluarkannya dari Madinah, insya Allah. Dan demi Allah, dialah yang hina, sedangkan engkaulah yang mulia.”

Kemudian Usaid berkata, “Ya Rasulullah, kasihanilah dia. Demi Allah, ketika Állah membawa engkau kepada kami, kaumnya sedang menyiapkan mahkota untuk disematkan di atas kepalanya karena mereka akan mengangkatnya menjadi raja di Madinah. Ia memandang Islam telah merenggut kerajaan itu darinya."

Dengan daya pikir yang tajam, sikap yang tenang, dan ucapan yang jelas, Usaid senantiasa berhasil memecahkan berbagai persoalan dengan intuisi dan wawasan yang aktual. Pada peristiwa Saqifah, yang terjadi tidak lama setelah wafatnya Rasulullah , sejumlah orang Anshar yang dikepalai oleh Sa'ad bin Ubadah mengumumkan bahwa mereka lebih berhak memegang kendali kekhalifahan. Adu argumen berjalan panjang dan perdebatan pun berkecamuk. Usaid, sebagaimana kita ketahui, sebagai seorang tokoh Anshar mempunyai pengaruh besar dalam menjernihkan suasana, memiliki posisi yang efektif untuk mengatasi ketegangan situasi itu, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya laksana cahaya fajar di waktu subuh dalam menentukan arah.

Usaid berdiri mengucapkan pidato yang ditujukan kepada kaumnya dari golongan Anshar, “Kalian mengetahui bahwa Rasulullah  adalah dari golongan Muhajirin. Dengan demikian, khalifah beliau pun semestinya dari golongan Muhajirin. Kita adalah pembela Rasulullah, sehingga kewajiban kita sekarang adalah membela khalifahnya."

Ternyata kata-kata itu menjadi penawar dan pendingin suasana.

Usaid bin Al-Hudhair hidup sebagai seorang ahli ibadah dan selalu taat. Ia rela mengorbankan jiwa dan hartanya di jalan kebaikan dan menjadikan wasiat Rasulullah terhadap orang Anshar sebagai pedoman dan sikap hidupnya:

"Bersabarlah kalian sampai kalian menjumpaiku di telaga."

Karena agama dan akhlaknya, ia dimuliakan dan dicintai Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia juga memperoleh kedudukan yang serupa di hati Amirul Mukminin Umar dan di hati semua sahabat yang lain.

Mendengar alunan suaranya bila ia sedang membaca Al-Qur'an seolah-olah mendapatkan harta rampasan yang sangat digemari oleh para sahabat. Suaranya khusyuk memesona dan menerangi jiwa,hingga Rasulullah  pernah mengabarkan bahwa malaikat mendekati pemilik suara indah itu pada suatu malam untuk mendengarkannya.

Pada Sya'ban 20 H Usaid wafat. Amirul Mukminin tidak mau ketinggalan untuk ikut memikul jenazahnya di atas bahunya saat mengantarkan ke makamnya. Di bawah tanah Baqi', di sanalah para sahabat menyimpan jasad seorang Mukmin besar. Mereka kembali ke Madinah dan tetap mengenang jasa-jasanya. Mereka selalu mengulang ulang sabda Rasul yang mulia tentang dirinya, “Laki-laki yang paling beruntung adalah Usaid bin Al-Hudhair." 

insyouf.com
insyouf.com Religi dan Motivasi + Wawasan

Posting Komentar untuk "Usaid bin Al-Hudhair, Pahlawan dalam Peristiwa Saqifah"