Abud Darda', Seorang Ahli Hikmah yang Luar Biasa
Ketika tentara Islam sedang berperang dengan membawa gemuruh kemenangan di beberapa penjuru bumi, di Madinah berdiam seorang filosof yang mengagumkan, yang dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai. Ia senantiasa mengucapkan kata- kata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Maukah kalian bila aku kabarkan kepada kalian tentang amalan yang terbaik bagi kalian, paling suci di sisi Rabb kalian, paling meninggikan derajat kalian, lebih baik daripada kalian memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang leher kalian, dan lebih baik daripada segala emas dan perak?”
Orang-orang yang mendengarkannya menjulurkan kepala mereka ke depan karena ingin tahu, dan mereka menanyakan, “Apakah itu wahai Abu Darda'?"
Abud Darda' memulai kata-katanya dengan wajah berseri-seri, di bawah cahaya iman dan hikmah, lalu menjawab, “Zikir kepada Allah, karena sesungguhnya zikir kepada Allah itu lebih utama."
Dengan kata-kata itu, ahli hikmah yang mengagumkan ini tidak bermaksud menganjurkan orang menganut filsafat mengucilkan diri, bukan menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak pula agar mengabaikan tugas agama yang baru ini, karena salah satu tugasnya menempatkan jihad sebagai sebuah kebanggaan. Abud Darda' tentu saja bukanlah tipe orang yang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan agama ini bersama Rasulullah sampai datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut Mekkah.
Hanya saja, salah satu ciri yang terdapat dalam dirinya, ia termasuk orang yang suka merenung di relung hikmah, dan mengabdikan hidupnya untuk mencari kebenaran dan keyakinan. Abud Darda', ahli hikmah yang besar di zamannya itu, adalah seorang insan yang telah dikuasai oleh kerinduan yang sangat dalam untuk menemukan dan melihat hakikat. Sebagaimana ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang teguh, ia merasa juga yakin dan percaya bahwa iman ini, dengan segala kewajiban dan pemahaman yang menyertainya, merupakan jalan yang utama dan satu-satunya untuk mencapai hakikat itu.
Ia tetap berpegang teguh dan menyerahkan dirinya kepada Allah. Dengan keteguhan, kedewasaan, dan keagungan, ia menempa hidupnya sesuai dengan keimanan. Ia terus menelusuri jejak hingga akhirnya menemukannya, dan berada di atas jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh, dan menempati kedudukan yang tinggi bersama orang-orang yang berbakti, yakni saat ia menyeru Rabbnya dengan membaca ayat-Nya:
"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku,ibadahku, hidup, dan matiku hanya untuk Allah, Rabb seluruh alam'."(Al-An'am:162)
Abud Darda' telah berjihad melawan hawa nafsu dan mengekang dirinya untuk memperoleh mutiara batin yang sempurna. Ia telah mencapai tingkatan yang tertinggi, yaitu tingkatan orang yang mempersembahkan seluruh kehidupannya semata bagi Allah pemelihara semesta alam.
Sekarang marilah kita mendekati ahli hikmah dan orang suci itu! Apakah Anda tidak memperhatikan cahaya yang memancar di sekeliling keningnya? Apakah Anda tidakmenciumwangisemerbakyang berhembus dari arahnya? Itulah dia cahaya hikmah dan harumnya iman. Iman dan hikmah telah bertemu pada laki-laki yang rindu kepada Rabbnya ini; suatu pertemuan bahagia yang tiada tara.
Ibunya pernah ditanyai orang tentang amal yangsangat disenangi Abu Darda', maka bundanya menjawab, “Tafakur dan mengambil pelajaran." Abud Darda' benar-benar telah meresapi dengan sempurna firman Allah yang terdapat dalam beberapa ayat:
Maka ambilah (kejadian itu)untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. (Al-Hasyr:2)
Ia selalu mendorong rekan-rekannya untuk merenung dan berpikir, dengan mengatakan kepada mereka, “Berpikir satu jam itu lebih baik daripada beribadah satu malam." Beribadah, berpikir, dan mencari hakikat telah menguasai seluruh diri dan kehidupannya.
Saat Abud Darda' rela mengambil Islam sebagai agamanya dan berbaiat kepada Rasulullah akan melaksanakan agama yang mulia ini, pada waktu itu ia adalah seorang saudagar kaya yang sukses di antara saudagar-saudagar Madinah. Sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam dunia perniagaan, bahkan sampai saat Rasulullah dan kaum muslimin lainnya hijrah ke Madinah, tidak lama setelah ia masuk Islam, dan Islam menjadi jalan hidupnya.
Marilah kita dengarkan saat ia sendiri menceritakan kisah tersebut kepada kita, “Aku menyatakan masuk Islam di hadapan Nabi saat aku menjadi saudagar. Aku ingin agar ibadah dan perniagaanku dapat berjalan beriringan, tetapi hal itu tidak berhasil. Aku pun mengabaikan perniagaan dan fokus pada ibadah.
Aku tidak akan merasa gembira sedikit pun jika sekarang aku berjual beli dan beruntung setiap harinya tiga ratus dinar, sekalipun tokoku itu terletak di depan pintu masjid. Perlu dipahami bahwa aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa Allah mengharamkan jual beli. Hanya saja,secara pribadi aku lebih senang bila aku termasuk ke dalam golongan orang yang perniagaan dan jual beli itu tidak melalaikan dari zikir kepada Allah.”
Apakah Anda tidak memperhatikan bagaimana kata-katanya yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, serta memancarkan hikmah dan kejujuran? Ia telah memberikan jawaban sebelum kita menanyakan kepadanya, "Apakah Allah mengharamkan perniagaan, wahai Abud Darda'?”
Uraiannya melenyapkan kesangsian yang ada dalam pikiran kita. Ia mengisyaratkan kepada kita tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapainya, dalam wujud meninggalkan jual belisekalipun ia sukses dalam hal ini. Ia mencari keistimewaan dan keluhuran rohani yang berkembang menuju derajat tertinggi yang dapat dicapai oleh anak manusia.
Abud Darda' menghendaki agar ibadah itu laksana tangga yang akan mengangkatnya ke alam kebaikan yang tinggi, agar kebenaran itu berada dalam puncak keluhuran dan hakikat itu memancarkan cahayanya. Seandainya yang ia kehendaki hanyalah menunaikan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya ia sanggup menghimpun antara keinginannya itu dan perdagangan serta usaha-usahanya yang lain. Berapa pedagang yang saleh, atau sebaliknya orang saleh yang jadi pedagang.
Di antara sahabat Rasulullah pun banyak yang berniaga dan perniagaan mereka tidak melalaikan dari mengingat Allah, bahkan mereka giat mengembangkan perniagaan dan hartanya untuk dibaktikan kepada tujuan Islam dan mencukupi kepentingan kaum muslimin. Namun, jalan yang ditempuh para sahabat yang lain itu tidak mengurangi arti jalan hidup Abu Darda', dan sebaliknya jalan yang ditempuhnya juga tidak mengurangi makna jalan mereka, karena setiap orang dimudahkan Allah untuk mengikuti jalan hidup yang telah ditetapkan bagi masing-masing.
Abud Darda' benar-benar menyadari bahwa ia diciptakan untuk meraih sesuatu yang memang sedang hendak dicapainya itu, yaitu mengkhususkan diri mencari hakikat melalui “latihan-latihan berat”dalam wujud menjauhi kesenangan dunia sesuai dengan keimanan yang diajarkan Allah kepadanya, menurut tuntunan Rasulullah dan Islam.
Jika Anda suka, sebutlah itu tasawuf, hanya saja tasawuf seorang laki-laki yang telah melengkapi kecerdasan seorang mukmin, kemampuan berpikir, dan pemahaman seorang sahabat, serta yang menjadikan tasawufnya suatu gerakan dinamis yang membina rohani, bukan hanya sekedar bayang-bayang yang baik dari bangunan ini. Itulah dia Abu Darda', sahabat sekaligus murid Rasulullah.
Itulah dia Abud Darda' seorang suci dan ahli hikmah, yang telah menolak dunia dengan kedua telapak tangannya dan melindunginya dengan dadanya. Ia adalah sosok laki-laki yang mampu mengasah dan menyucikan jiwa, sehingga menjadi cermin yang memantulkan hikmah, kebenaran dan kebaikan, yang menjadikan Abud Darda' sebagai seorang guru dan ahli hikmah yang lurus. Berbahagialah mereka yang datang menemuinya dan mendengarkan ajarannya.
Sekarang, mari kita mendekat untuk mengetahui lebih jauh tentang hikmah darinya, wahai orang yang berakal. Kita mulai dengan filsafatnya terhadap dunia; terhadap kesenangan dan kemewahan. Ia telah terpengaruh hingga ke dasar jiwanya oleh ayat-ayat Al-Qur'an yang menghinakan orang seperti dalam ayat:
Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.(Al-Humazah:2-3)
Ia juga sangat terkesan sampai ke lubuk hatinya oleh sabda Rasulullah:
"Sedikit tetapi mencukupi itu lebih baik daripada yang banyak tetapi melalaikan."
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:
"Jauhkanlah diri kalian dari keduniaan semampu kalian,sebab siapa yang dunia menjadi tujuan utamanya, Allah akan menceraiberaikan urusannya,lalu menjadikan kemiskinan dalam pandangan matanya. Dan siapa yang menjadikan akhirat tujuan utamanya, Allah akan menghimpunkan miliknya yang bercerai berai, lalu menjadikan kekayaan dalam hatinya, dan menjadikan segala kebaikan mudah baginya."
Karena itulah, Abud Darda' menyesalkan orang-orang yang menjadi tawanan segala keinginan untuk menumpuk kekayaan dan berkata, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang." Ditanyakan kepadanya, “Apakah maksud hati yang bercabang-cabang itu wahai Abu Darda'?” Ia menjawab, "Memiliki harta di setiap lembah."
Ia menyeru manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat kepadanya. Itulah sejatinya kepemilikan seseorang terhadap dunia ini. Adapun keinginan menguasainya secara serakah tidak akan pernah ada kesudahannya, maka yang demikian adalah bentuk penghambaan dan perbudakan terburuk. Dalam hal ini ia berkata, "Barang siapa tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tidak ada dunia baginya."
Harta baginya hanya sebagai sarana untuk hidup bersahaja dan sederhana, tidak lebih dari itu. Karena itulah, setiap orang harus berupaya mendapatkan harta yang halal dan mendapatkannya secara tenang dan seimbang, bukan dengan kerakusan dan keserakahan.
Abud Darda' juga menuturkan, “Janganlah engkau makan kecuali yang baik, janganlah melakukan upaya kecuali yang baik, dan janganlah memasukkan ke rumahmu kecuali yang baik."
Ia pernah mengirimkan surat kepada sahabatnya dengan kata-kata sebagai berikut:
“Amma ba'd, tidak satu pun harta kekayaan dunia yang engkau miliki, melainkan sudah ada orang lain yang memilikinya sebelum dirimu, dan akan terus ada orang lain memilikinya setelah dirimu. Dunia yang engkau miliki sejatinya hanya sekedar yang telah kamu manfaatkan untuk dirimu. Karena itu, utamakanlah harta itu untuk anakmu di mana engkau mengumpulkan harta untuknya agar menjadi warisan baginya.
Sejatinya, engkau mengumpulkan harta itu untuk salah satu dari dua kemungkinan: (pertama) untuk anak yang saleh yang beramal dengan harta itu untuk menaati Allah, maka ia berbahagia dengan segala kepayahanmu mengumpulkan harta itu. Dan (kedua) untuk anak durhaka yang mempergunakan harta itu untuk maksiat, maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah kamu kumpulkan untuknya itu. Percayakanlah nasib mereka kepada rezeki yang ada pada Allah,dan selamatkanlah dirimu sendiri."
Menurut pandangan Abu Darda', dunia seluruhnya hanya titipan. Ketika Siprus ditaklukkan dan banyak harta rampasan perang dibawa ke Madinah,orang-orang melihat Abud Darda' menangis. Dengan perasaan heran mereka mendekatinya dan meminta Jubair bin Nafir untuk menanyainya, “Wahai Abu Darda', apakah sebabnya engkau menangis pada saat Islam dan pemeluknya telah dimenangkan oleh Allah?”
Abud Darda' menjawabnya dengan kata-kata yang sangat berharga dan penuh arti, “Celaka engkau, wahai Jubair. Alangkah hinanya makhluk di sisi Allah bila mereka meninggalkan perintah-Nya. Bila suatu umat yang perkasa, berjaya, dan mempunyai kekuatan, lalu mereka meninggalkan perintah Allah, niscaya mereka menjadi seperti yang engkau lihat."
Faktanya memang benar. Menurut Abu Darda', keruntuhan yang begitu cepat melanda tentara Islam di negeri-negeri yang dibebaskan penyebabnya ialah negeri-negeri tersebut kehilangan pegangan rohani yang baik sebagai pelindung dan agama yang benar yang menghubungkannya dengan Allah. Dengan alasan yang sama, ia juga mengkhawatirkan keadaan kaum muslimin saat ikatan iman mereka mengendur, ketika hubungan mereka dengan Allah, kebenaran, dan kebaikan menjadi lemah, sehingga titipan itu dengan mudah berpindah dari tangan mereka, sebagaimana dulu berpindah kepada mereka dengan mudah pula.
Menurut keyakinannya, dunia seluruhnya hanya pinjaman semata, yang sekaligus menjadi jembatan untuk menyeberang ke kehidupan yang abadi dan lebih membahagiakan.
Suatu saat, para sahabatnya menjenguknya ketika ia sedang sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas tikar dari kulit.Mereka menawarkan kepadanya, “Bila engkau mau, engkau akan mendapatkan kasur yang lebih baik dan empuk.”
Ia pun menjawab tawaran ini sambil memberi isyarat dengan telunjuknya, sedang kedua matanya yang bercahaya menatap jauh ke depan, “Negeri kita jauh di sana. Kita mengumpulkan bekal untuk negeri itu dan ke sanalah kita akan kembali. Kita akan berangkat dan beramal untuk bekal di sana.”
Pandangan terhadap nilai dunia ini bagi Abud Darda' bukan sekedar perspektif nalar saja, melainkan lebih dari itu, merupakan suatu jalan hidup. Yazid bin Mu'awiyah, putra khalifah pada waktu itu, pernah melamar putri Abu Darda', namun ia menolak lamaran tersebut. Kemudian, ketika putrinya tersebut dilamar oleh salah seorang putra kaum muslimin yang miskin tetapi saleh, putrinya itu pun dinikahkan dengannya. Orang-orang tidak habis pikir dengan keputusannya itu.
Abud Darda' pun mengajarkan kepada mereka alasan-alasannya, dengan mengatakan, “Bagaimana opini kalian nanti tentang si Abud Darda' bila putrinya telah dikelilingi para pelayan dan terpedaya oleh kemewahan istana? Di mana letak agamanya waktu itu?”
Itulah dia seorang yang bijaksana dan berjiwa lurus dengan hati yang mulia. Semua kesenangan dunia yang sangat diingini nafsunya dan didambakan kalbunya, mampu ia tundukkan. Ini tidak berarti bahwa ia lari dari kebahagiaan, tetapi sebaliknya kebahagiaan sejati baginya ialah menguasai dunia, bukan dikuasai dunia. Bila manusia hidup dalam batas kesahajaan dan kesederhanaan; bila mereka telah menggunakan hakikat dunia hanya sebagai jembatan yang akan menyeberangkan ke kampung halaman yang abadi, itu berarti mereka akan memperoleh kebahagiaan sejati yang lebih sempurna dan lebih agung.
Abud Darda' berkata, "Kebaikan bukanlah karena dengan memperbanyak harta dan anak. Kebaikan yang sesungguhnya ialah bila semakin besar rasa santunmu, semakin bertambah banyak ilmumu,dan kamu berpacu menandingi orang lain dalam mengabdi kepada Allah."
Pada masa Khalifah Utsman, Mu'awiyah menjadi gubernur di Syam dan Abud Darda' menjabat hakim atas kehendak Khalifah. Di Syam itulah Abud Darda' menjadi tonggak penegakyang mengingatkan orang tentang jalan yang ditempuh Rasulullah dalam hidup beliau, kezuhudan beliau, dan jalan hidup para pelopor Islam pertama dari golongan syuhada dan orang-orang yang berbakti.
Negeri Syam waktu itu adalah negeri yang makmur penuh dengan kenikmatan dan kemewahan hidup. Penduduk, yang mabuk dengan kesenangan dunia dan tenggelam dalam kemewahan ini, seolah-olah merasa dibatasi oleh peringatan dan nasihat Abud Darda'. Abud Darda' mengumpulkan mereka dan berdiri untuk menyampaikan pidato:
“Wahai penduduk Syam, kalian adalah saudara seagama,tetangga dalam rumah tangga, dan pembela melawan musuh. Tetapi, saya merasa heran melihat kalian semua, mengapa kalian tidak merasa malu? Kalian mengumpulkan apa yang tidak kalian makan. Kalian membangun semua yang tidak akan kalian huni. Kalian mengharapkan apa yang tidak akan kalian capai.
Beberapa kurun waktu sebelum kalian, mereka pun mengumpulkan dan menyimpannya. Mereka mengangan-angankan, lalu mereka berkepanjangan dalam angan-angan itu. Mereka membangun dan mengokohkan bangunan itu tetapi akhirnya semua itu binasa. Angan-angan mereka menjadi fatamorgana. Rumah-rumah mereka menjadi kuburan belaka. Mereka itulah kaum Ad, yang memenuhi wilayah antara Aden dan Oman dengan harta dan anak-anak mereka.”
Kemudian kedua bibirnya menyunggingkan senyuman lebar yang mengisyaratkan sindiran. Ia melambaikan tangannya kepada khalayak yang hadir dan dengan sindiran yang tajam, ia berteriak, “Siapakah yang mau membeli harta peninggalan kaum Ad dariku dengan harga dua dirham saja?"
Abud Darda' memang sosok pria yang berwibawa, anggun, dan memancarkan cahaya. Hikmahnya meyakinkan,firasatnya menakjubkan, serta logikanya benar dan cerdas. Ibadah menurut Abud Darda' bukan sekedar rutinitas ritual dan ikut-ikutan, melainkan suatu upaya mencari kebaikan dan mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan rahmat dan ridha Allah, senantiasa rendah hati, dan mengingatkan manusia akan kelemahannya serta kelebihan Rabb atasnya.
Ia pernah mengatakan, “Carilah kebaikan sepanjang hidupmu, dan berharaplah mendapatkan terpaan hembusan karunia Allah, sebab Allah mempunyai hembusan-hembusan rahmat yang dapat mengenai siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Mohonlah kepada Allah agar menutupi kekurangan kalian, dan menganugerahkan ketenteraman dari ketakutan kalian."
Mata ahli hikmah ini selalu terbuka untuk meneliti tipuan dalam ibadahdanmengingatkan setiap orang dari kepalsuan tersebut. Kepalsuan inilah yang banyak menimpa sebagian besar orang-orang yang berwatak lemah dalam iman mereka. Mereka merasa bangga dengan ibadah sendiri, lalu merasa dirinya lebih baik daripada orang lain dan arogan. Marilah kita dengarkan penuturannya yang lain, “Kebaikan sebesar biji sawi dari orang yang bertakwa dan yakin itu lebih berat dan lebih bernilai daripada ibadah sebesar gunung dari orang-orang yang tertipu oleh diri sendiri."
Ia menambahkan, “Janganlah kalian membebani orang lain dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya. Janganlah kalian mengorek-orek mereka dalam urusan yang menjadi wewenang Rabb-nya.Jagalah diri kalian sendiri, sebab siapa yang selalu mengingini apa yang dipunyai orang lain, niscaya akan berkepanjangan deritanya."
Abud Darda' tidak ingin seseorang yang ahli ibadah, bagaimana pun tinggi pengabdiannya, mengaku dirinyalah secara mutlak lebih sempurna dari hamba-hamba Allah yang lain. Ia justru harus bersyukur kepada Allah atas taufik-Nya, dan menolong dengan mendoakan orang lain yang belum mendapatkan taufik itu dengan ketinggian ibadah dan keikhlasan niatnya. Apakah Anda pernah mendapatkan kata-kata bijak yang sinarnya melebihi hikmah yang budiman ini?
Seorang sahabatnya bernama Abu Qalabah menuturkan, “Suatu hari Abud Darda' melihat orang-orang sedang mencaci maki seseorang yang terperosok pada perbuatan dosa, maka ia melarangnya.
Ia mengatakan, 'Bagaimana pendapat kalian bila melihatnya terperosok ke dalam lubang? Bukankah seharusnya kalian berusaha mengeluarkannya dari lubang itu?'
Mereka menjawab, 'Ya, benar.'
Abud Darda' mengatakan, 'Kalau begitu, jangan kalian cela dia. Bersyukurlah kalian, karena Allah menyelamatkan kalian (dari dosa itu).'
Mereka bertanya, 'Apakah kita tidak membencinya?'
Abud Darda' menjawab, 'Bencilah terhadap perbuatannya, dan bila ditinggalkannya hal itu, berarti ia adalah saudaraku'.”
Seandainya apa yang telah kami sebutkan tentang Abud Darda' tersebut merupakan salah satu sisi dar dua sisi ibadah, maka sisi yang lain ialah ilmu dan makrifat. Abud Darda' benar-benar menempatkan ilmu pada kedudukan tertinggi dan menganggapnya sebagai kesucian bagi dirinya sebagai orang yang bijaksana dan ahli ibadah. Perhatikanlah ungkapannya tentang ilmu, “Orang tidak mungkin mencapai tingkat orang bertaka apabila tidak berilmu. Apa gunanya ilmu bila tidak dibuktikan dalam perbuatan?”
Ilmu baginya merupakan pemahaman, perilaku, makrifat,jalan hidup, dan ide kehidupan. Karena yang menyucikan ilmu ini adalah seorang yang bijaksana maka kita melihatnya meneriakkan bahwa ilmu dan orang yang mempelajarinya itu mempunyai kedudukan yang sama dalam kemuliaan, keutamaan, dan pahala. Ia juga melihat bahwa kebesaran hidup ini tergantung kepada ilmu yang baik sebelum segala hal terjadi.
Ia mengatakan, “Aku tidak tahu mengapa ulama kalian pergi berlalu, sedangkan orang-orang jahil di antara kalian tidak mau mempelajari ilmu. Ketahuilah bahwa guru yang baik dan muridnya, serupa pahalanya. Dan tidak ada lagi kebaikan yang lebih utama dari kebaikan mereka."
Ia juga mengatakan, “Manusia itu ada tiga macam: orang yang berilmu,orang yang belajar, dan yang ketiga adalah orang bodoh yang tidak mempunyai kebaikan apa-apa."
Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, ilmu dan amal tidak pernah berpisah dalam pemikiran Abu Darda'. Ia berkata,“Yang paling kutakutkan pada hari kiamat kelak ialah bila aku ditanya di depan semua orang, 'Wahai Uwaimir, apakah engkau berilmu?' Lalu aku menjawab, 'Ya.' Lalu aku ditanyai lagi, 'Apa saja yang engkau amalkan dari ilmu itu?'”
Abud Darda' selalu memuliakan ulama yang mengamalkan ilmunya, menghormati mereka dengan penghormatan yang besar, bahkan berdoa kepada Rabbnya dengan ungkapan, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kutukan hati ulama." Ia ditanyai, “Bagaimana mungkin hati mereka mengutukmu?" Ia pun menjawab, “Bila aku dibenci."
Perhatikanlah bagaimana ia memandang suatu kutukan besar bila terdapat kebencian ulama kepadanya. Karena itulah, dengan rendah hati ia berdoa kepada Rabbnya, agar melindunginya dari hal itu.
Kebijaksanaan Abud Darda' mengajarkan berbuat baik dalam persaudaraan dan membina hubungan di antara sesama manusia atas dasar tabiat manusia itu sendiri. Dalam hal ini ia pernah mengatakan, “Menegur saudaramu atas kesalahannya itu lebih baik bagimu daripada engkau kehilangan dirinya. Siapakah mereka bagimu, kalau bukan saudara? Nasihatilah saudaramu dan bersikaplah yanglembut kepadanya. Janganlah engkau ikut-ikutan mendengki saudaramu, sehingga engkau akan seperti orang itu pula. Barang kali esok maut menjemputnya, sehingga itu membuatmu merasa kehilangan dan menangisinya. Tetapi, bagaimana engkau akan menangisinya sesudah mati, sedangkan selagi hidup saja engkau tidak pernah memenuhi haknya?”
Pengawasan Allah terhadap hamba-Nya menjadi dasar yang kuat bagi Abud Darda' untuk membangun hak-hak persaudaraan di atasnya. Ia pernah mengatakan, “Aku benci menganiaya seseorang, dan aku lebih bencilagi jika sampai menganiaya seseorang yang tidak mampu meminta pertolongan dari ketidakadilanku kecuali kepada Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.”
Alangkah besar jiwamu, dan betapa terang pancaran rohmu, wahai Abu Darda'!
Ia selalu memberi peringatan keras terhadap masyarakat dari pikiran keliru yang menyangka bahwa kaum lemah mudah saja mereka perlakukan sewenang-wenang dengan menyalahgunakan kekuasaan dan kekuatan. Ia mengingatkan bahwa di dalam kelemahan orang-orang itu terdapat kekuatan yang ampuh, yakni jeritan hati dan doa kepada Allah karena kelemahan mereka, lalu menyerahkan nasib mereka kepada-Nya atas perlakuan orang yang menindasnya itu.
Itulah dia Abud Darda' yang budiman itu. Abud Darda'yang zuhud, ahli ibadah, dan selalu merindukan perjalanan pulang untuk bertemu dengan Rabbnya. Inilah dia Abu Darda', yang bila orang teresona oleh ketakwaannya, lalu mereka meminta doa restunya, ia pun menjawab dengan kerendahan hati yang teguh, “Aku bukan ahli berenang, sehingga aku takut akan tenggelam."
Itulah jawabannya, tetapi benarkah engkau tidak bisa berenang, wahai Abu Darda'? Tetapi, apa yang tidak menakjubkan dari dirinya? Bukankah ia hasil tempaan Rasulullah, murid Al-Qur'an, putra Islam yang pertama, dan rekan seperjuangan Abu Bakar, Umar, serta tokoh-tokoh utama lainnya?.
Posting Komentar untuk "Abud Darda', Seorang Ahli Hikmah yang Luar Biasa"