Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Majapahit vs Pasundan, Tragedi Perang Bubat

majapahit pasundan


Perang Bubat tahun 1357 Masehi melibatkan Kemaharajaan Majapahit era Hayam Wuruk dan Gajah Mada melawan Kerajaan Sunda (Galuh) di bawah pemerintahan Prabu Linggabuana. Perang ini menyimpan banyak sejarah, mulai dari penyebab hingga dampaknya di kemudian hari. Menurut Kakawin Nagarakertagama, Kerajaan Majapahit telah menguasai daerah Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian Kepulauan Filipina di masa kepemimpinan Hayam Wuruk (1350-1389). . Ada satu wilayah yang belum bisa dikuasai oleh Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda. Kendati Kerajaan Sunda sama-sama berada di pulau Jawa, Mahapatih Gajah Mada tidak memiliki alasan apa pun untuk menaklukkannya. Menurut Wawan Hermawan melalui artikel bertajuk “Perang Bubat dalam Literatur Majapahit” yang terhimpun di jurnal Wawasan Agama dan Sosial Budaya (Volume 34, 2011:39), kekosongan alasan untuk menaklukkan Sunda menyebabkan Majapahit memakai jalur diplomasi untuk menjalin persekutuan. Hayam Wuruk melakukannya dengan cara berniat mempersunting putri Raja Sunda, Prabu Linggabuana, yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi. Ternyata, kisah upaya menjalin kekerabatan antara kedua kerajaan besar di Jawa ini berujung malapetaka. 


Tragedi Perang Bubat terungkap jelas pada Kitab Pararaton

Dalam bentuk kronik sekitar 1474-1486, sedangkan bagian sastra sejarahnya antara 1500-1613. Naskah ini kali pertama diterbitkan J.L.A. Brandes, filolog asal Belanda, pada 1896

Peperangan itupun dilerai oleh pemuka agama Majapahit dan dijanjikan beberapa hari untuk diberikan keputusan. Akhirnya putri Raja Pajajaran Diah Pitaloka itu dinyatakan hanya sebagai persembahan sehingga tidak boleh diperistri. Peperangan pun berkecamuk dan berlangsung sengit.

"Perang raja lawan raja. Pangeran lawan pangeran. Mereka (Pasukan Pajajaran) gugur. Hayamwuruk lakukan pesta besar-besaran. Hayam wuruk marah Gajah Mada mau ditangkap tetapi menghilang dengan cara moksa. Mereka tidak menyalahkan Gajah Mada karena dianggap keturunan Dewa Wisnu. 

Baca Juga : https://www.insyouf.com/2022/10/kerajaan-pajajaran-hindu-di-islamkan.html

Menurut arkeolog lulusan Universitas Indonesia, Dr. Agus Aris Munandar, umumnya cerita tentang Perang Bubat yang mengilhami para penulis fiksi sejarah, bersumber dari buku Kidung Sunda. Akan tetapi, salah seorang pengarang yang paling banyak menulis fiksi berdasarkan peristiwa dalam sejarah Sunda, Yoseph Iskandar, termasuk novelnya mengenai Perang Bubat, menyebut sumbernya berdasarkan naskah “Pangeran Wangsakerta”.

Ketika berlangsung “Dialog Budaya Sekitar Perang Bubat” di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan, Jawa Timur, tanggal 30 September lalu, Dr. Agus Aris Munandar menyampaikan tafsir baru mengenai Perang Bubat. Menurut Agus, rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Pitaloka bukanlah atas prakarsa Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi. Pernikahan itu justru telah direncanakan Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuwana. Gajah Mada menginginkan pernikahan itu, sebab niatnya untuk mempersatukan Sunda dengan Majapahit akan terwujud tanpa harus melalui peperangan. Hal yang sama juga diharapkan oleh Maharaja Linggabuwana karena pernikahan itu akan membuat wilayah Kerajaan Sunda semakin luas.

Lalu kenapa Gajah Mada berkhianat? Inilah yang dianggap sebagai tafsir baru Agus. Ternyata tanpa sepengetahuan Gajah Mada dan Hayam Wuruk, diam-diam orang tua Hayam Wuruk (Cakradara/ Tribhuwanatunggadewi) telah menjodohkan Hayam Wuruk dengan Padukasori, putri Kudamerta/Rajadewi Maharasasa. Rajadewi adalah adik Tribhuwanatunggadewi. Kudamerta yang mendengar Gajah Mada telah melamar Pitaloka sebagai permaisuri Hayam Wuruk, berhasil memengaruhi Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi untuk menggagalkan pernikahan tersebut. Gajah Mada terpaksa mengikuti kemauan orang tua Hayam Wuruk, mengubah posisi Pitaloka yang tadinya sebagai permaisuri, menjadi selir. Sikap Gajah Mada tersebut dirasakan Maharaja Linggabuwana sebagai penghinaan padahal Gajah Mada sendiri merasa sedih harus berbuat seperti itu. Maharaja memilih untuk berperang daripada menyerahkan putrinya sebagai selir. Maka terjadilah Perang Bubat. Akibatnya, menurut Agus, “Gajah Mada disalahkan oleh sejarah”.

Dalam Dialog Budaya di Trowulan, saya mempertanyakan tentang sebutan Perang Bubat, karena ada yang berpendapat, yang terjadi di Bubat itu bukanlah perang, tetapi lebih layak disebut pembantaian terhadap Raja Sunda bersama pengawalnya – sebab jumlah pasukan Gajah Mada dan pengawal Raja Sunda tidak berimbang. Akan tetapi menurut Agus, dalam semua naskah kuno, selalu disebut adanya Pabubat atau Perang Bubat. Sementara itu, wartawan senior Her Suganda lebih suka menyebutnya sebagai “Peristiwa Bubat”.

Karakter Kepemimpinan

Ketika saya menulis prosa liris yang diberi judul “Citraresmi – Riwayat Menyayat Perang Bubat” (diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama), saya mengungkapkan peristiwa di Bubat itu seperti yang diyakini umumnya masyarakat Sunda selama ini. Tidak ada tafsir baru seperti Dr. Agus.

Kalaupun boleh disebut sebagai tafsir baru, melalui buku tersebut saya lebih menitikberatkan terhadap karakteristik tokoh-tokoh utama dalam Peristiwa Bubat itu, sebab dengan cara seperti itu kita akan lebih jernih “memahami” sepak terjang mereka.

Tokoh utama yang saya maksud adalah Gajah Mada, Hayam Wuruk, Pitaloka, Maharaja Linggabuwana, dan Bunisora Suradipati. 

Jas Merah (Jangan sekali kali melupakan Sejarah)

insyouf.com
insyouf.com Religi dan Motivasi + Wawasan

Posting Komentar untuk "Sejarah Majapahit vs Pasundan, Tragedi Perang Bubat"